Ben

“Duarr”. Suara desingan peluru itu memecah keheningan pagi. Sekelompok tentara berbaret hitam turun dari kendaraan taktis. Mereka berlarian menuju sebuah rumah kecil kumuh. Pada pintu rumah tersebut terdapat tanda X yang masih segar. Kentara dibuat untuk menandai rumah tersebut sebagai target operasi. Prajurit yang berada paling depan berhenti sejenak di depan rumah tersebut. Dalam posisi waspada dan siaga prajurit tersebut sedikit membungkuk dan memberikan kode kepada teman-temannya di belakang.

Tangan kirinya menunjuk ke arah kiri dan mengacungkan tiga jari sedang tangan kanannya menunjuk ke pintu belakang dan mengacungkan dua jarinya dua kali. Satu grup yang terdiri dari tiga prajurit langsung bergegas menuju kiri rumah tersebut. Kemudian di susul empat orang tentara yang membentuk formasi empat bintang menuju pintu belakang. Semua pasukan telah siap siaga. Mereka berbisik lewat headset yang terpasang di pakaian tempur mereka.

Pagi itu begitu hening. Tak seperti biasanya yang ramai dengan aktivitas warga yang mulai beranjak menyambut hari. Sepeda yang berseliweran mengantarkan anak-anak ke sekolah tak muncul. Begitu pula para ibu yang biasa menyiangi biji gandum untuk makan siang nanti. Hanya beberapa ekor ayam yang nampak asyik menotoli tanah.

“Dhuarrr” terdengar ledakan yang cukup besar. Wusss udara langsung mengalami hempasan seketika, memecahkan kaca-kaca jendela. Empat orang tentara yang bersiaga di pintu belakang berhasil roboh. Aroma amis darah langsung tercium hebat. Tangan dan kaki serta beberapa kerat daging bertebaran. Ranjau darat. Ya ranjau darat tersebut sukses membuat empat tentara tersebut menemui ajal tanpa perlawanan. Tanpa disadari seorang parajurit dalam grup tersebut menginjak sebuah ranjau darat buatan amerika sisa perang afghanistan yang mempunyai kekuatan cukup untuk menghempaskan sebuah kendaraan artileri sejauh beberapa meter.

Sang pimpinan regu semakin waspada. “Ambushh..!!” komando pasukan militer tersebut. Sontak enam orang prajurit yang tersisa segara masuk ke dalam rumah. Mereka tetap waspada melihat keadaan di dalam rumah yang gelap tanpa cahaya.

“Dorr... dor... dor...” terdengar kembali suara tembakan. Rupanya seorang laki-laki paruh baya menembakkan pistol FN ke arah pasukan yang sedang memeriksa kamar. Pria itu bersembunyi dibalik kelambu menanti tentara yang datang. Naas, satu tentara berhasil tertembus peluru di wajahnya dan langsung tersungkur. Melihat temannya jatuh seorang prajurit langsung menangkap tubuh temannya dan menyeretnya keluar menuju mobil.

Seperti orang kesetanan tentara lain langsung mengejar pria tersebut dan menembaknya beberapa kali. Tanpa ampun dan tanpa belas kasihan. “Terterterterter..” senapan serbu tersebut berhasil merobohkan laki-laki tua itu. Diseretnya laki-laki tua tersebut dengan bengis menuju mobil. Tubuhnya nampak basah oleh darah segar.

“Cepat periksa isi rumah ini” komando pimpinan regu kepada para prajuritnya.

Dalam hitungan beberapa menit rumah mungil itu nampak seperti kapal mau pecah. Sangat berantakan dengan benda-benda yang berserakan di mana-mana.

Mata komandan regu rupanya cukup awas. Dia melihat ada sebuah retakan di tembok. Segera diambil belati yang ada di pinggangnya. Sedikit cungkilan berhasil membuka rekahan tersebut. Rupanya terdapat sebuah ruangan rahasia. Ruangan sempit yang hanya berukuran satu meter persegi. Sang komandan cukup kaget dengan temuan tersebut. Apalagi dilihatnya seorang anak laki-laki berumur dua tahun duduk diam sambil menghisap jarinya.

Mata anak itu sangat jernih. Persih air telaga yang masih perawan dan tak terjamah manusia. Seketika itu pula sang komandan yang awalnya berang akibat kematian anak buahnya luluh melihat anak itu. Digendongnya lah sang anak dengan penuh haru. Anak buahnya sedari tadi melihat potongan kejadian tersebut. Mereka benar-benar heran. Bagaimana mungkin komandannya mampu luluh oleh seorang anak kecil.

“Bagaimana kalau kita bunuh saja anak itu pak?” ujar seorang prajurit yang tidak diketahui namanya. “Bugg” Ujung sepatu yang terbuat dari besi itu mendarat di perutnya. Cukup keras sampai membuatnya terhuyung kesakitan.

“Tidak.. aku tidak akan membunuhnya”

“Aku akan membesarkan anak ini dan akan kulatih menjadi tentara yang kuat seperti aku..!!”

Menyadari tindakannya tidak disukai sang komandan tentara tersebut segera menunduk dan berlari menuju mobil. Semua prajurit segera menuju mobil untuk kembali ke markas komando.

“Perburuan kali ini cukup sukses komandan”

“Kita sukses menaklukkan sang serigala dan berhasil membawa anaknya”

Sang komandan tertawa menyeringai tanda puas. Disusul pula oleh tentara lain yang merasa senang misi mereka telah berhasil. Anak itu masih tidak menyadari siapa dia dan beberapa laki-laki yang berada di depannya. Mungkin ia masih terlalu lugu untuk memahami keadaan.

Mengapa Mawar Begitu Cantik, Namun Berduri (Part 2)

“Fuhhh...” Kepulan asap putih membumbung tinggi ke udara.
Pria bertubuh kekar itu menundukkan kepalanya ke arah langit. Dipandanginya langit malah seolah ia sedang mencari seseorang yang amat penting. Dibelakangnya juga berdiri beberapa orang pria yang nampak sama risaunya. Mereka nampak seperti anak buah pria kekar tersebut. Ya kini kakiku melangkah semakin dekat dengan mereka. Selangkah demi selangkah aku mulai merasakan geletar rahangku yang serasa hampir copot. Bagaimana mungkin aku tidak takut sedangkan pria kekar itu mulai menatap ke arahku. Matanya nampak memerah dan bringas seperti singa yang sedang lapar. Aku mungkin nampak seperti seekor kijang kecil yang lemah saat itu.

“Audzubillahi minasyaythonir rajim...” aku mulai merapalkan doa yang diajarkan ibuku ketika menghadapi bahaya. Aliran darah terasa semakin kencang terpompa. Tanganku terasa sangat dingin dan kaku. Namun aku tetap berjalan seolah tak peduli. Aku sungguh tak berani menatap mereka karena takut. Wajahku ku tundukkan seraya menambah kecepatan langkah ku.

“Hai tunggu sebentar..!!” hardik pria bertubuh besar itu

Aku benar-benar ketakutan saat itu. “whattt...??” gumamku dalam hati.

“Apa benar kamu yang bernama Ahmad?” ujar salah seorang pria kurus yang sedari tadi berada di belakang pria kekar itu.

“Iya mas, sebenarnya ada a...”

Bugghh..!!
Bogem mentah mendarat di pipiku. Pukulannya benar-benar cepat dan sangat bertenaga. Rahangku yang sedari tadi gemetar terasa oblak dan hampir lepas dari sendi-sendinya.

Aku pun terhuyung-huyung setelah menerima kado perkenalan yang amat tak menyenangkan. “bangsat, kenapa ni orang medadak memukul wajahku” gumamku lirih dalam hati. Beberapa detik segera aku berusaha berdiri tegak kembali. Buku yang sejak tadi kugenggam kini sudah berceceran di tanah.

“Eh masih bisa berdiri lu??“
Wussshh..!!
Sebuah pukulan kembali ke arah wajahku cukup kencang.

Plakkk...!!
Suara keras terdengar cukup mengagetkan.

Pria bertubuh kekar itu terbengong melihat pukulannya berhasil ku tangkis dengan tangan kiri ku. Serasa sepersekian detik aku bisa melihat gerakan pria itu hendak meninjuku kembali. Dia pikir aku bodoh sehingga aku bisa dipukul untuk kedua kalinya. Saat pukulan pertama aku benar-benar lengah dan dalam keadaan takut. Namun kini aku tak merasakan takut itu. Mendadak aku seperti jawara silat yang mampu mematahkan jurus lawan.

Satu detik.. dua detik..
“oouuughh...!!”
Dalam hening pria bertubuh besar itu berteriak.

Darah segar mengalir dari hidungnya. Rupanya pukulan ku tak meleset. Meskipun pukulan yang aku layangkan itu dalam keadaan mata tertutup. Refleksku mengajarkan tanganku untuk segera bertindak taktis dan cepat. Kini giliran pria besar itu yang terhuyung-huyung hendak jatuh. Sepertinya aku telah mengenai titik terlemah pria besar ini. Ia segara menyeka darah segar yang mengalir tipis keluar dari hidungnya. Kini ia kembali dengan posisi siaga dan siap bertarung kembali. Matanya nampak nanar semakin liar dan garang menatap tubuh gempal ku ini.

“Celaka..” Ceracauku panik dalam hati.
Kulihat beberapa pria yang sedari tadi memantau ikut bergabung disamping raksasa itu. Dan rupanya badan mereka tidak kalah besar dengan lelaki yang sukses mendaratkan tinjunya di rahangku yang selalu kuguakan untuk mengunyah makanan favoritku, mendoan.

“Tiga, empat, lima, enam..”
Ya enam orang kini berdiri dihadapanku. Tak tanggung-tanggug mereka yang berdiri di depanku nampak memiliki perwan cukup besar. Otot bisepnya nampak sangat menonjol dalam balutan kaus mereka yang cukup ngepress. Satu orang yang berambut gondrong maju ke depan. Ia langsung merangsek tanpa ampun ke arahku. Tinjunya sedari tadi diangkat dan terkepal siang menghantam tubuh besarku.

“hiaatt..!!”
Rupanya petarung ini cukup bodoh karena dia terlalu lengah. Tendangan menyusur tanah menyapu kakinya. Rupanya dia tidak punya kuda-kuda yang cukup kuat. Cukup dengan sebuah sapuan tubuh besarnya roboh. Terjerembab ke aspal yang keras seraya mengaduh kesakitan. Melihat temannya roboh kelima orang itu mulai gelisah. Mereka menampakkan ekspresi geram.

Tanpa aba-aba kelima pria bertubuh gempal itu menyerang bersamaan. Beberapa pukulan berhasil aku tangkis dengan sukses. “jelek-jelek gini kan saya belajar bela diri” ujarku membatin. Usaha kali ini mereke intensifkan dengan menyerang secara bergantian dengan intensif. Hasilnya luar biasa melelahkan. Kadang kami harus berbagi kesakitan karena sama-sama kena jotos.

Sepuluh menit berlalu. Aku masih bisa berdiri tegak walau dengan sedikit nafas yg naik-turun tak jelas. Lalu pria yang memukul rahangku maju. Dia langsung menendang ke arah perutku.

“arghhh..!!”
Aku terjerembab terpelanting. Lantai semen malam itu terasa amat tidak menyenangkan buatku. Sepatu panthofel kerasnya mengenai ulu hatiku. Aku tak bisa bangun. Kalau kalian yang pernah belajar beladiri tentu tau sensasi yang muncul ketika ulu hati kalian kena pukulan atau tendangan. Dan malam ini aku merasakan itu. Tubuh besarku mendadak lemas tak berdaya karena menahan sakit yang luar biasa.

Aku tak sadarkan diri...

Mengapa Mawar Begitu Cantik, Namun Berduri (Part 1)

Tak ada gading yang tak retak, salah satu ungkapan pepatah kuno yang sering aku dengar mengenai ketidaksempurnaan. Tapi yang aku rasakan bukan soal gading tetapi soal hati. Tak ada hati yang tak retak, mungkin itu ungkapan yang lebih pas untuk ku saat ini. Ya namun dalam batin ini entah mengapa aku merasa diperlakukan tak adil. Mengapa harus hatiku ini yang begitu retak dan hancur

Pandanganku arah kan ke depan. Kutatap layar laptop bututku yang menemani setia sejak semester 7 aku berkuliah. Mungkin saat kau baca tulisan ini aku sedang menangisi salah satu ketololan terbesarku. Ini semua tentang cinta dan perasaan.
***
Aku berlari mengejar penjual surat kabar pagi itu.
“koran pagi, majalah, tabloid...” terdengar seru suara loper koran.
“bang tunggu dong..” aku berujar sembari berlari mengajar si loper.
“cari koran apa de?” tanyanya sopan.
“saya cari koran yg ngumumin ujian SPMB. ada ga bang?” tanyaku lagi.
“oh iya ada nih de. Tapi harganya beda yah. Edisi ini jadi goceng harganya dari sononya”
Langsung ku rebut dengan cepat koran yang disodorkan si loper koran.
“nih bang duitnya goceng” aku langsung berlari masuk ke dalam rumah.

Tanganku berjalan naik turun menyusuri nama yang terpampang dalam koran pagi itu. Jariku seakan menari mencari nama ku. Ups akhirnya aku menemukan namaku tercantum di situ. Bukan main senangnya melihat namaku tercatat di daftar itu. Berarti aku berhasil menembus ujian masuk kampus yang aku dambakan itu. Ibuku tak kalah senang mengetahui aku lolos masuk salah satu perguruan tinggi negeri. Bagi ibuku pendidikan adahal hal yang tidak ternilai dan menjadi asset yang berharga bagi anak-anaknya.

Mungkin kalau aku sedikit boleh bercerita aku ini anak pertama dari dua bersaudara. Aku dibesarkan oleh ibuku sampai dengan aku sebesar ini. Ya ibuku adalah seorang wanita perkasa. Ia melakoni tugasnya sebagai ibu, sekaligus sebagai ayah bagi kami. Singgle parents, mungkin itu istilah populernya. Kami bertiga hidup bahagia walaupun kami kerap mengalami permasalahn finansial. Bagiku masalah harta bukan segalanya selama aku bisa tetap dalam keluarga ini.

Lia, perempuan cantik itu adalah adik kandungku satu-satunya. Ia dikenal sebagai salah satu anak cerdas di sekolahnya. Wajahnya cantik dan menarik bagi setiap pria yang memandangnya. Tak seperti aku yang sering dibilang anak pungut oleh ibuku. Haha.. tenang saja itu hanya candaan ibuku saja kawan. Aku tak benar-benar buruk rupa. Hanya saja perutku agak besar akibat terlalu hobi makan.

Kalau ditanya dimana ayah kami selalu diam. Tak peduli dia ada di mana sekarang. Entah apakah dia masih hidup atau sudah menjadi satu dengan bumi. Aku sungguh ingin marah jika membahas nama itu. Aku menyesalkan sikapnya yang tak gentle dan memilih meninggalkan ibuku sendirian dan meninggalkan aku beserta adik ku. Laki-laki itu bajingan, itu yang aku tanamkan dalam kepalaku.

Bersambung...

Just Another Blog

Halo sobat blogger sekalian. Mungkin sebelumnya gw hendak introducing sebentar. Sebenernya gw sudah cukup lama menulis di blog terdahulu www.fatahilla.blogspot.com. Hanya saja rasanya cukup mbosenin menulis sesuatu yg terlalu serius dan formal. Apalagi blog gw yang sebelumnya kebanyakan isinya berupa artikel dan pemikiran yg serius banget. Nah gw membuat blog baru ini emang sengaja untuk menyalurkan minat dan kesukaan gw buat menulis sesuatu, apapun itu.

Dorongan ini sih sebenernya sudah cukup lama. Kadang di blog gw itu sering diselipkan beberapa tulisan santai dan nonformil. Tapi setelah gw pikir lagi kasian readernya ntar malah bingung liat blogw yang acak kadul.

Hmmm...
Pecintamieinstan, gw suka dengan domain itu. Menurut gw cukup easy listening dan semoga saja mudah diingat dong. Gw emang suka banget sama yg namanya mie instan. Maklum emang track record gw adalah sebagai mahasiswa perantau. Mie instan itu emang udah jadi sahabat setia para anak kost di akhir bulan. Hahaha...

Oke deh kayaknya emang udah ga perlu panjang kata lagi deh. Semoga blog ini bisa sedikit memberikan hiburan atau sekedar membunuh waktu luang sobat sekalian... :)

Salam
Pecintamieinstan

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More