Mengapa Mawar Begitu Cantik, Namun Berduri (Part 2)

“Fuhhh...” Kepulan asap putih membumbung tinggi ke udara.
Pria bertubuh kekar itu menundukkan kepalanya ke arah langit. Dipandanginya langit malah seolah ia sedang mencari seseorang yang amat penting. Dibelakangnya juga berdiri beberapa orang pria yang nampak sama risaunya. Mereka nampak seperti anak buah pria kekar tersebut. Ya kini kakiku melangkah semakin dekat dengan mereka. Selangkah demi selangkah aku mulai merasakan geletar rahangku yang serasa hampir copot. Bagaimana mungkin aku tidak takut sedangkan pria kekar itu mulai menatap ke arahku. Matanya nampak memerah dan bringas seperti singa yang sedang lapar. Aku mungkin nampak seperti seekor kijang kecil yang lemah saat itu.

“Audzubillahi minasyaythonir rajim...” aku mulai merapalkan doa yang diajarkan ibuku ketika menghadapi bahaya. Aliran darah terasa semakin kencang terpompa. Tanganku terasa sangat dingin dan kaku. Namun aku tetap berjalan seolah tak peduli. Aku sungguh tak berani menatap mereka karena takut. Wajahku ku tundukkan seraya menambah kecepatan langkah ku.

“Hai tunggu sebentar..!!” hardik pria bertubuh besar itu

Aku benar-benar ketakutan saat itu. “whattt...??” gumamku dalam hati.

“Apa benar kamu yang bernama Ahmad?” ujar salah seorang pria kurus yang sedari tadi berada di belakang pria kekar itu.

“Iya mas, sebenarnya ada a...”

Bugghh..!!
Bogem mentah mendarat di pipiku. Pukulannya benar-benar cepat dan sangat bertenaga. Rahangku yang sedari tadi gemetar terasa oblak dan hampir lepas dari sendi-sendinya.

Aku pun terhuyung-huyung setelah menerima kado perkenalan yang amat tak menyenangkan. “bangsat, kenapa ni orang medadak memukul wajahku” gumamku lirih dalam hati. Beberapa detik segera aku berusaha berdiri tegak kembali. Buku yang sejak tadi kugenggam kini sudah berceceran di tanah.

“Eh masih bisa berdiri lu??“
Wussshh..!!
Sebuah pukulan kembali ke arah wajahku cukup kencang.

Plakkk...!!
Suara keras terdengar cukup mengagetkan.

Pria bertubuh kekar itu terbengong melihat pukulannya berhasil ku tangkis dengan tangan kiri ku. Serasa sepersekian detik aku bisa melihat gerakan pria itu hendak meninjuku kembali. Dia pikir aku bodoh sehingga aku bisa dipukul untuk kedua kalinya. Saat pukulan pertama aku benar-benar lengah dan dalam keadaan takut. Namun kini aku tak merasakan takut itu. Mendadak aku seperti jawara silat yang mampu mematahkan jurus lawan.

Satu detik.. dua detik..
“oouuughh...!!”
Dalam hening pria bertubuh besar itu berteriak.

Darah segar mengalir dari hidungnya. Rupanya pukulan ku tak meleset. Meskipun pukulan yang aku layangkan itu dalam keadaan mata tertutup. Refleksku mengajarkan tanganku untuk segera bertindak taktis dan cepat. Kini giliran pria besar itu yang terhuyung-huyung hendak jatuh. Sepertinya aku telah mengenai titik terlemah pria besar ini. Ia segara menyeka darah segar yang mengalir tipis keluar dari hidungnya. Kini ia kembali dengan posisi siaga dan siap bertarung kembali. Matanya nampak nanar semakin liar dan garang menatap tubuh gempal ku ini.

“Celaka..” Ceracauku panik dalam hati.
Kulihat beberapa pria yang sedari tadi memantau ikut bergabung disamping raksasa itu. Dan rupanya badan mereka tidak kalah besar dengan lelaki yang sukses mendaratkan tinjunya di rahangku yang selalu kuguakan untuk mengunyah makanan favoritku, mendoan.

“Tiga, empat, lima, enam..”
Ya enam orang kini berdiri dihadapanku. Tak tanggung-tanggug mereka yang berdiri di depanku nampak memiliki perwan cukup besar. Otot bisepnya nampak sangat menonjol dalam balutan kaus mereka yang cukup ngepress. Satu orang yang berambut gondrong maju ke depan. Ia langsung merangsek tanpa ampun ke arahku. Tinjunya sedari tadi diangkat dan terkepal siang menghantam tubuh besarku.

“hiaatt..!!”
Rupanya petarung ini cukup bodoh karena dia terlalu lengah. Tendangan menyusur tanah menyapu kakinya. Rupanya dia tidak punya kuda-kuda yang cukup kuat. Cukup dengan sebuah sapuan tubuh besarnya roboh. Terjerembab ke aspal yang keras seraya mengaduh kesakitan. Melihat temannya roboh kelima orang itu mulai gelisah. Mereka menampakkan ekspresi geram.

Tanpa aba-aba kelima pria bertubuh gempal itu menyerang bersamaan. Beberapa pukulan berhasil aku tangkis dengan sukses. “jelek-jelek gini kan saya belajar bela diri” ujarku membatin. Usaha kali ini mereke intensifkan dengan menyerang secara bergantian dengan intensif. Hasilnya luar biasa melelahkan. Kadang kami harus berbagi kesakitan karena sama-sama kena jotos.

Sepuluh menit berlalu. Aku masih bisa berdiri tegak walau dengan sedikit nafas yg naik-turun tak jelas. Lalu pria yang memukul rahangku maju. Dia langsung menendang ke arah perutku.

“arghhh..!!”
Aku terjerembab terpelanting. Lantai semen malam itu terasa amat tidak menyenangkan buatku. Sepatu panthofel kerasnya mengenai ulu hatiku. Aku tak bisa bangun. Kalau kalian yang pernah belajar beladiri tentu tau sensasi yang muncul ketika ulu hati kalian kena pukulan atau tendangan. Dan malam ini aku merasakan itu. Tubuh besarku mendadak lemas tak berdaya karena menahan sakit yang luar biasa.

Aku tak sadarkan diri...

0 komentar:

Posting Komentar